Wednesday, October 1, 2014

Serial Manzhumah Al-Baiquniyah (5)

Serial Manzhumah Al-Baiquniyah [5]

Penerjemah : Al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah

Syarat Ketiga: adh Dhabthu (1)
adh Dhabthu menurut ahli hadits ada 2 macam:
1. Dhabthu shadrin (hafalan yang kuat, penj.)
2. Dhabthu kitàbin (catatan yang bagus, penj.)

Al Imam al Hafizh Yahya bin Ma’in berkata, “Dia ada 2 macam: Tsabtu hifzhin (kekuatan hafalan, penj.) dan tsabtu kitàbin (bagusnya catatan, penj.). Sementara Abu Saleh juru tulis al Laits adalah perawi yang bagus catatannya.” (Tahdzib at Tahdzib: 5/260)

Al Khathib al Baghdadi dalam al Kifayah (340-341) meriwayatkan bahwa Marwàn bin Muhammad ath Thàthiri berkata, “Ada 3 hal yang seorang ahli hadits harus memiliki minimal 2 di antaranya: Hafalan yg kuat, kejujuran, dan catatan yang bagus. Jika dia tidak memiliki salah satu di antaranya namun dia masih memiliki 2 yang lainnya, maka itu tidak ada masalah. Jika dia tidak punya hafalan yang kuat namun dia punya kejujuran dan catatan yang bagus, maka itu tidak ada masalah.”

Beliau juga berkata, “Sanad sudah sangat panjang, dan akhirnya orang-orang nantinya akan kembali (mengandalkan) buku-buku.”

Yang Pertama: Dhabthu Shadrin (ضبط صدر)
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata menjelaskan definisinya, “Dia menghafal dengan baik hadits yang pernah dia dengar, hingga dia mampu melafalkan hadits itu (dari hafalannya, penj.) kapan saja dia mau.” (Nuzhah an Nazhar hal. 29)

Yang Kedua: Dhabthu Kitàbin (ضبط كتاب)
��Al Hafizh Ibnu Hajar berkata menjelaskan definisinya, “Dia menjaganya (buku catatan haditsnya, penj.) mulai sejak dia mendengar (baca: mencatat) di dalamnya dan dia mentash-hih (mengecek kembali kebenaran, penj.) hadits-hadits yang dia tulis kepada guru yang dia mencatat hadits-hadits itu drnya.” (Idem)

Ada banyak perawi yang hanya mempunyai dhàbith jenis yang pertama.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Tidak ada sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang lebih banyak meriwayatkan hadits dari beliau dibandingkan saya. Namun Abdullah bin Umar menulis hadits-haditsnya sementara saya tidak.” (Al Bukhari no. 113)

Keadaan hal ini (hanya mengandalkan hafalan, penj.) terus berlangsung dan banyak ulama huffazh yang seperti itu, seperti: Amir asy Sya’bi, Syu’bah bin al Hajjaj, Waki‘ bin al Jarrah, Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, ats Tsauri, Ibnu Uyainah, dan selainnya.

Isràìl bin Yùnus berkata, “Saya menghafal hadits-hadits Abu Ishaq sebagaimana saya menghafal satu surat dalam al Quran.” (Al Ja’diyàt: 2/779)

Di antara ulama ada yang memiliki kedua jenis dhabth di atas; Hafalan dan catatan hadits yg bagus.
Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk hanya menyampaikan hadits dengan membaca dari buku-buku hadits mereka. Itu dikarenakan hafalan manusia itu kurang bisa diandalkan, sementara potensi untuk salah hafal akan selalu ada, apalagi jika sanad haditsnya panjang.

Di antara ulama yang seperti ini adalah: Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin al Madini, Ibnu al Mubàrak, Abu Zur’ah ar Razi, Ibnu Dìzìl, dan selainnya.

Imam al Hafizh Ali bin al Madini berkata, “Tidak ada seorang pun di antara teman-teman kami yang lebih kuat hafalannya dibandingkan Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Namun telah sampai kabar kepadaku bahwa beliau tidak pernah membawakan hadits kecuali sambil membaca dari buku. Dan beliau adalah suritauladan bagi kami.” (Ibnu Abi Hatim dalam Muqaddimah al Jarh wa at Ta’dìl hal. 295)

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih sedikit kekeliruannya (dalam hadits, penj.) dibandingkan Ibnu al Mubarak. Hal itu karena beliau adalah seseorang yang selalu menyampaikan hadits dengan membaca dari buku, dan siapa saja yang seperti itu maka hampir-hampir tidak akan punya banyak kekeliruan. Sementara Waki‘  menyampaikan hadits dari hafalannya, tidak pernah melihat ke dalam bukunya. Akibatnya, beliau mempunyai (banyak) kekeliruan. Seberapa kuat sih hafalan seseorang?!” (al Fasawi dalam al Ma’rifah wa at Tàrìkh: 2/197)

Al Hafizh Abu Zur’ah ad Dimasyqi berkata dalam kitab Tarikh (no. 1203/222) karyanya, “Aku mendengar nama Hammad bin Zaid dan Ibnu Ulayyah diperbincangkan di sisi Abu Nu’aim, bahwa Hammad menghafal hadits-hadits Ayyub, sementara Ibnu Ulayyah menulisnya. Maka Abu Nu’aim berkata, “Aku menjamin kepadamu, bahwa siapa saja yang tidak merujuk ke buku (catatan haditsnya, penj.), maka dikhawatirkan dia akan terjatuh dalam kekeliruan.”

http://www.al-atsariyyah.com

WA Radio As-Sunnah Sidrap

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites