Friday, October 3, 2014

Serial Manzhumah Al-Baiquniyah [6]

Serial Manzhumah Al-Baiquniyah [6]

✏Penerjemah : Al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah

Syarat Ketiga: adh Dhabthu (2)

Imam al Hafizh Muhammad bin Isma‘il al Bukhari berkata dalam kitabnya Raf’u al Yadain fi ash Shalàh (112-115), “Diriwayatkan dari Sufyàn dari ‘Àshim bin Kulaib dari Abdirrahman bin al Aswad dari ‘Alqamah dia berkata: Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata:
اﻵ أصلى بكم صلاة رسول الله -صلى الله تعالى عليه وسلم-؟ فصلى ولم يرفع يديه إﻻ مرة

“Inginkah aku tunjukkan kepada kalian tata cara shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?” Lalu beliau mengerjakan shalat, dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya kecuali hanya sekali.”

Ahmad bin Hanbal berkata dari Yahya bin Àdam dia berkata, “Aku melihat ke dalam buku hadits Abdullah bin Idris dari ‘Àshim bin Kulaib, namun di dalam haditsnya tidak ada kalimat: Kemudian beliau tidak mengulanginya.”

��Imam al Bukhari berkata setelah meriwayatkannya, “Riwayat ini (Abdullah bin Idris, penj.) lebih shahih. Karena riwayat dari buku itu lebih kuat menurut para ulama. Hal itu karena tidak jarang seseorang membawakan hadits dari hafalannya (yang berbeda dengan yang tertulis di bukunya, penj.), namun setelahnya dia merujuk ke bukunya, dan ternyata yang benar adalah apa yang tertulis di bukunya.”

��al Hafizh ar Ràmahurmùzi berkata, “Yang lebih utama dan yang lebih berhati-hati bagi setiap ahli hadits dan perawi adalah: Dalam periwayatan hadits, hendaknya dia merujuk ke bukunya, agar dia bisa menghindari kekeliruan.” (al Muhaddits al Fàshil hal. 388)

��al Hafizh al Khathìb al Baghdàdi berkata dalam al Jàmi’ (1/662), “Yang lebih hati-hati dan lebih utama bagi seorang ahli hadits adalah dia menyampaikan hadits dengan membaca dari bukunya, agar dia bisa menghindari kekeliruan dan kesalahan. Dan itu akan membuatnya jauh dari kesalahhafalan.”
Di antara ahli hadits, ada yang masyhur dengan dhabtu kitab (ضبط كتاب).

��Abdu ash Shamad bin Abdi al Wàrits berkata, “Betapa shahihnya buku hadits Said bin Salamah.” (al Àhàd wa al Matsàni: 2/208 karya Ibnu Abi Àshim)

��Imam Ahmad berkata tentang buku hadits Syu’aib bin Abi Hamzah, “Aku melihat buku haditsnya sangat bagus dan teratur,” dan beliau memuji-muji bukunya. Ahmad berkata lagi, “Syu’aib lebih tinggi derajatnya daripada Yunus bin Yazid. Aku melihat buku hadits (Syu’aib) yang anaknya perlihatkan kepadaku, dan ternyata hadits-hadits di dalamnya tidak lepas antara hasan dan shahih. Sepanjang pengetahuanku, belum ada anak muda yang mampu menulis hadits-hadits seperti apa yang dia lakukan, baik dari sisi kesahihan, kerapian, dan semacamnya.” (Tàrìkh Abi Zur’ah ad Dimasyqi no. 1052)

Di antara mereka ada yang tidak kuat hafalannya namun bagus buku catatan haditsnya. Maka perawi seperti ini, kapan dia menyampaikan hadits dari bukunya maka haditsnya diterima, dan demikian pula sebaliknya.

��Contohnya:
��1. Hammàm bin Yahya al ‘Audzi.
Imam Ibnu Zurai’ dan Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Bukunya shahih, sementara hafalannya tidak ada apa-apanya.” (Syarh ‘Ilal at Tirmizi: 2/758)
��2. Hafsh bin Ghiyàts.
al Hafizh Ya’qub bin Syaibah berkata, “Tsiqah. Kuat jika dia membawakan hadits dari bukunya, namun sebagian hadits-hadits hafalannya dijauhi.” (Tàrìkh Baghdàd: 8/198)
��3. Yahya bin Sulaim ath Thà`ifi.
al Hafizh Ya’qub bin Sufyàn berkata, “Seorang sunni yg saleh. Buku haditsnya tidak mengapa. Jika dia menyampaikan hadits dari bukunya maka haditsnya hasan. Namun jika dia menyampaikan dari hafalan maka diingkari.” (al Ma’rifah wa at Tàrìkh: 3/51)

http://www.al-atsariyyah.com

WA Radio As-Sunnah Sidrap

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites