Patut disyukuri di satu sisi, namun
disesali di sisi yang lain, inilah yang kami komentari dari fenomena
ODOJ ini. Mengapa demikian? Akan datang jawabannya insya Allah ta’ala.
Alhamdulillah, telah dipahami bersama bahwa ibadah adalah hikmah penciptaan hamba di muka bumi. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku saja.” [Adz-Dzariyat: 56]
Bersamaan dengan itu, Allah ta’ala
menjanjikan kebaikan yang berlipat ganda bagi siapa yang beribadah
kepada-Nya dan mengancam dengan azab-Nya yang sangat pedih bagi siapa
yang tidak beribadah kepada-Nya atau menyekutukan-Nya dalam ibadah.
Dan diantara ibadah yang sangat agung
dengan janji pahala dan kebaikan yang melimpah adalah membaca
Al-Qur’anul Karim. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْف وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْف وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa membaca satu huruf dari
kitab Allah, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan tersebut
dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Aku tidaklah mengatakan bahwa
Alif Laam Miim itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu
huruf, dan Miim satu huruf.” [HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 3327]
Dan masih sangat banyak dalil yang
menunjukkan keutamaan membaca Al-Qur’an maupun ibadah-ibadah lainnya.
Akan tetapi yang tidak kalah penting dipahami adalah, Allah ta’ala telah
menetapkan syarat yang mesti dipenuhi agar ibadah seorang hamba
diterima dan mendapatkan pahala. Allah ta’ala telah menetapkan dua
syarat yang harus dipenuhi dalam ibadah, jika satu saja dari dua syarat
ini tidak dipenuhi maka tidak sah ibadah tersebut, yaitu:
1. Ikhlas, dilakukan karena Allah ta’ala semata.
2. Ittiba’, meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Ulama seluruhnya sepakat (ijma’) bahwa, ibadah tidak benar tanpa memenuhi dua syarat ini [Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 115 pada syarah hadits kelima]
Diantara dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya.” [Al-Kahfi: 110]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
{ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ } أي: ثوابه وجزاءه الصالح، { فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا } ، ما كان موافقًا لشرع الله { وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا } وهو الذي يراد به وجه الله وحده لا شريك له، وهذان ركنا العمل المتقبل. لا بد أن يكون خالصًا لله، صوابُا على شريعة رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya, yaitu pahala dan balasannya yang baik. Maka hendaklah dia beramal shalih, yaitu amalan yang sesuai syari’at Allah subhanahu wa ta’ala. Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya,
yaitu hendaklah (ikhlas) hanya mengharap wajah Allah saja tiada sekutu
bagi-Nya. Dua hal ini (amal sesuai syari’at dan ikhlas) merupakan dua
rukun amal yang diterima, yaitu harus ikhlas karena Allah ta’ala dan
sesuai syari’at Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” [Tafsir Ibnu Katsir, 5/205]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وهذان الأصلان جماع الدين : أن لا نعبد إلا الله ، وأن نعبده بما شرع ، لا نعبده بالبدع
“Keduanya merupakan pokok terkumpulnya
agama, yaitu kita tidak boleh beribadah kecuali kepada Allah ta’ala dan
kita beribadah kepada-Nya dengan apa yang disyari’atkan oleh-Nya, tidak
dengan bid’ah-bid’ah.” [Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, hal. 451]
Dan pentingnya keikhlasan dalam ibadah telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَات، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأة يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya amalan-amalan manusia
tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya.
Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia
mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa
hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih, atau wanita yang ingin
dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَر قَالُوا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Sesungguhnya yang paling aku takuti
menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “Apa yang
dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik
kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada
mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah
ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada
mereka), “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian
perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah
apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!”.” [HR. Ahmad dari Mahmud bin Labid radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 951]
Adapun tentang pentingnya meneladani
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam ibadah dan tercelanya
mengada-adakan suatu amalan tanpa petunjuk beliau, maka beliau
shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَد
“Barangsiapa yang mengada-ngadakan perkara baru dalam agama kami ini apa-apa yang bukan daripadanya maka ia tertolak.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
Dalam riwayat Muslim,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَد
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Ammaa ba’du, sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad (shallallahu’alaihi wa sallam) dan seburuk-buruk
urusan adalah perkara baru (dalam agama) dan semua perkara baru (dalam
agama) itu sesat.” [HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa
taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara)
meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah, karena
sesungguhnya siapa pun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku
akan melihat perselisihan yang banyak (dalam agama), maka wajib bagi
kalian (menghindari perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh dengan
sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat
petunjuk. Peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bid’ah dalam agama)
karena setiap bid’ah itu sesat.” [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu]
Dari uraian di atas maka insya Allah
ta’ala sudah tergambarkan bahwa program ODOJ ini disyukuri di satu sisi,
yaitu terlihatnya semangat kaum muslimin dalam beribadah, terutama
dalam membaca Al-Qur’an dan mengkhatamkannya.
Namun di sisi lain perlu disesali atau
mungkin lebih tepat dikasihani, karena kurangnya ilmu agama yang mereka
miliki, maka pada akhirnya mereka terjerumus dalam satu bentuk ibadah
yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan
para sahabatnya.
Apa bentuk ketidaksesuain dengan petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam program ODOJ?
Berikut ini mekanisme ODOJ yang kami kutip dari salah satu website:
MEKANISME ONE DAY ONE JUZ WHATSAPP / BBM
1. Calon member mendaftarkan nomer whatsappnya ke contact person ODOJ.
2. ODOJ akan mengalokasikan calon member ke admin grup whatsapp yang tersedia.
3. Setelah grup whatsapp terbentuk admin akan mengundang calon ke grup.
4. Setelah masuk maka resmi menjadi member ODOJ dengan nomer grup yang ditentukan.
5. Member akan diminta untuk perkenalan
dengan member yang lain sesama grup agar saling mengenal seperti nama,
daerah asal dan biodata lainnya.
6. Di malam sebelum hari pertama setiap member akan kebagian juz yang harus dibaca
7. Member dipersilahkan mulai membaca, untuk yang selesai silahkan posting di grup.
8. Admin / Penanggung Jawab akan merekap
hasil posting member setiap pkl 8, 11, 14, 17 dan 20.00, diharapkan
pukul 20.00 selesai / khalas 30 juz.
9. Jika belum selesai 30 juz, maka sisa juz yang tidak bisa terselesaikan akan dilelang atau dibagikan ke member yang berminat.
10. Waktu lelangan mulai pukul 20.00 – 21.00 tilawah juz lelangan mulai pukul 20.00 – 22.00
11. Pukul 22.00 selesai 30 juz, besoknya dipersilahkan melanjutkan dari juz yang dibaca hari ini.
Tanggapan:
Pertama: Perhatikan poin
ke 6 bahwa Admin membagi tiap juz bagi 30 orang, dan perhatikan pula
poin ke 8, diharapkan selesai 30 juz, dan pada poin ke 9, jika ada
member yang tidak mampu menyelesaikan maka akan dibantu member yang lain
dengan harapan dapat khatam 30 juz setiap harinya.
Cara membaca Al-Qur’an seperti ini tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan
para sahabatnya, maka tidaklah sepatutnya bagi seorang muslim untuk
mengadakan atau mengikuti program seperti ini karena tidak memenuhi
syarat ibadah yang kedua, yaitu meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam.
Dan perlu senantiasa dicamkan oleh
seorang muslim, bahwa ibadah yang diinginkan Allah ta’ala bukanlah
sekedar banyak, tetapi harus benar dalam pelaksanaannya, dan sungguh,
sedikit sesuai sunnah itu lebih baik, dari pada banyak tapi bid’ah, yang
sesat dan tertolak.
Kedua: Jika ada yang berkata: Di mana letak bid’ahnya? Bukankah membaca Al-Qur’an adalah Ibadah?
Maka untuk memahami masalah ini, ulama membagi bid’ah itu menjadi dua bentuk:
1) Bid’ah ashilyyah atau haqiqiyyah, yaitu bid’ah yang tidak berdasar dalil sama sekali, tidak dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan istidlal yang diakui (mu’tabar)
oleh ahli ilmu, tidak secara global maupun terperinci, oleh karenanya
dinamakan bid’ah, karena merupakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh
sebelumnya [Lihat Al-I’tishom, Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah, 1/367]
Contoh bid’ah ashliyyah atau haqiqiyyah adalah lafaz-lafaz dzikir dan shalawat yang sama sekali tidak berdasarkan dalil, seperti shalawat naariyyah, shalawat badar, dan lain-lain.
2) Bid’ah idhafiyyah (yang disandarkan),
adalah sesuatu yang memiliki dua sisi, di satu sisi sesuai sunnah
karena berdasarkan dalil, di sisi yang lain merupakan bid’ah karena
tidak berdasarkan dalil [Lihat Al-I’tishom, Al-Imam Asy-Syatibi rahimahullah, 1/367, 445]
Contohnya adalah, lafaz-lafaz dzikir
atau shalawat yang berdasarkan dalil, namun dalam pelaksanaannya
terdapat kebid’ahan, seperti ucapan tahlil: Laa Ilaaha Illallah,
tidak diragukan lagi ini adalah lafaz dzikir yang disyari’atkan, namun
jika seseorang menentukan jumlah tertentu yang tidak ditentukan oleh
syari’ah, seperti 1000 kali dalam sehari maka penentuan jumlah ini
adalah bid’ah karena tidak berdasarkan dalil. Untuk mengetahui bid’ah idhafiyyah dapat dilihat dari enam sisi, yaitu:
Satu: Sebab melakukan ibadah
Dua: Jenis (seperti jenis hewan yang disyari’atkan untuk kurban)
Tiga: Bilangan (ketentuan jumlah)
Empat: Tata cara (kaifiyyah) beribadah
Lima: Waktu beribadah
Enam: Tempat ibadah.
Jadi, tidak cukup lafaz dzikir yang sesuai dalil, keenam sisi ini pun harus sesuai dalil, jika tidak maka menjadi bid’ah [Lihat Al-Ibda’ fi Kamaal As-Syar’i wa Khatharil Ibdtida’, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 21-23]
Maka termasuk kesalahan para pelaku
bid’ah, ketika seorang Salafi (pengikut generasi Salaf) melarang mereka
melakukan dzikir atau shalawat dengan kaifiyah tertentu atau menentukan bilangan tertentu tanpa adanya dalil, mereka mengatakan, “Salafi melarang dzikir atau melarang shalawat”, padahal yang dilarang adalah kaifiyyah
yang salah ataupun penentuan bilangan yang tidak berdasarkan dalil. Dan
jawaban yang paling tepat atas tuduhan “melarang dzikir dan shalawat”
atau “menggembosi amal shalih” adalah ucapan seorang pembesar tabi’in
yang mulia, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah.
Al-Imam Al-Baihaqi Asy-Syafi’i rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang shahih sampai kepada Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah,
أنه رأى رجلا يصلي بعد
طلوع الفجر أكثر من ركعتين يكثر فيها الركوع والسجود فنهاه فقال : يا أبا
محمد ! أيعذبني الله على الصلاة ؟ ! قال : لا ولكن يعذبك على خلاف السنة
“Bahwasannya beliau melihat seseorang
sedang sholat setelah terbit fajar lebih dari dua raka’at, dia
memperbanyak rukuk dan sujud, beliau pun melarangnya, maka orang itu
berkata: wahai Abu Muhammad, apakah Allah ta’ala akan mengazabku karena
melakukan sholat? Beliau menjawab: Tidak, tetapi Allah ta’ala akan
mengazabmu karena menyelisihi sunnah.”
Ucapan di atas dikomentari oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah:
وهذا من بدائع أجوبة سعيد بن المسيب رحمه الله
تعالى وهو سلاح قوي على المبتدعة الذين يستحسنون كثيرا من البدع باسم انها
ذكر وصلاة ثم ينكرون على أهل السنة إنكار ذلك عليهم ويتهمونهم بأنهم
ينكرون الذكر والصلاة ! ! وهم في الحقيقة إنما ينكرون خلافهم للسنة في
الذكر والصلاة ونحو ذلك
“Ini diantara bentuk cerdasnya jawaban-jawaban Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah, dan jawaban ini merupakan senjata yang kuat untuk menghadapi para pelaku bid’ah yang menganggap baik (hasanah)
terhadap banyak sekali perbuatan bid’ah, dengan dalih (bukan dalil,
pen) amalan itu merupakan dzikir dan sholat. Lalu mereka mengingkari
Ahlus Sunnah yang melarang bid’ah mereka, dan mereka menuduh Ahlus
Sunnah melarang dzikir dan sholat, padahal hakikatnya yang diingkari
adalah penyelisihan mereka terhadap sunnah dalam dzikir dan doa
tersebut, dan amalan-amalan yang semisalnya.” [Irwaul Ghalil fi Tkhriji Ahaadits Manaris Sabil, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, 2/236, di bawah pembahasan hadits no. 478]
Demikian diantara kaidah mengenal
bid’ah, lalu apa hubungannya dengan metode ODOJ? Hubungannya sangat
jelas, bahwa membaca Al-Qur’an di satu sisi disyari’atkan, namun di sisi
yang lain, metode ODOJ tidak ada asalnya dalam syari’at, maka sangat
dikhawatirkan ia termasuk dalam kategori bid’ah idhafiyyah. Pada
kesempatan yang lain insya Allah ta’ala kami akan menerangkan beberapa
kaidah lain untuk mengenal bid’ah.
Ketiga: Dengan metode ODOJ
ini, tidak bisa dikatakan bahwa anggotanya telah menyelesaikan atau
mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari itu. Berikut fatwa Al-Lajnah
Ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah,
توزيع أجزاء من القرآن على
من حضروا الاجتماع ليقرأ كل منهم لنفسه حزبا أو أحزابا من القرآن لا يعتبر
ذلك ختما للقرآن من كل واحد منهم بالضرورة وقصدهم القراءة للتبرك فقط فيه قصور فإن القراءة يقصد بها القربة وتحفظ القرآن وتدبره وفهم أحكامه والاعتبار به ونيل الأجر والثواب وتدريب اللسان على تلاوته … إلى غير ذلك من الفوائد.
“Membagi juz-juz Al-Qur’an terhadap
orang-orang yang menghadiri perkumpulan, agar setiap orang membaca bagi
dirinya satu bagian atau beberapa bagian Al-Qur’an, maka itu tidak
dianggap sebagai khatam Al-Qur’an dari setiap mereka secara pasti. Dan
maksud mereka dalam membaca untuk mencari berkah saja maka padanya ada
kekurangan, karena sejatinya membaca Al-Qur’an adalah untuk ibadah,
menghapal Al-Qur’an, tadabbur, memahami hukum-hukumnya, mengambil
pelajaran darinya, meraih pahala, melatih lisan dalam membacanya, dan
berbagai macam manfaat yang lain.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/480]
Keempat: Metode ODOJ ini sama sekali tidak termasuk dalam hadits, “Barangsiapa dalam Islam membuat kebiasan baik…”
sehingga perlu mendapat apresiasi, sebab metode ini bukan kebiasaan
dalam Islam. Adapun yang dimaksud kebiasaan dalam Islam adalah yang
berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan pemahaman
Salaf.
Kelima: Sebagai
nasihat akhir, hendaklah kaum muslimin lebih bersemangat dalam menuntut
ilmu agama agar tidak terjerumus dalam penyimpangan, dan secara khusus
kepada saudara-saudara kita yang mengadakan dan mengikuti program ODOJ
untuk kembali menuntut ilmu berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang sesuai pemahaman Salaf, bukan pemahaman kita masing-masing. Dan
hendaklah mereka meninggalkan metode yang tidak sesuai petunjuk
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tersebut. WabiLlaahit taufiq.
Sumber: http://sofyanruray.info







