ADA APA DENGAN CINTA
Sebagai salah seorang pelaku tholibul ilmi, sering keluhan mengambang di permukaan kalbu, "kenapa sih muroja'ah Alquran sangat susah. Hari ini murojaah juz satu, besok lupa. Juz tiga diulang, juz dua kacau. Kembali ke juz dua, eh juz tiga malah pergi entah kemana. Padahal para ulama' kayaknya sangat mudah memuroja'ah Alqur'an. Seolah mengalir bak aliran sungai. Kira-kira apa yang membuat kita berbeda?"
Merenung dan terus berpikir. Melacak dan berusaha mencari jawaban. Hingga akhirnya ana sampai pada buah renungan, saat masa jahiliyahku, beribu nama pemain bola yang asing nan rumit ana mampu menghapalnya. Ditambah masing-masing umurnya, kewarganegaraannya, klub tempat dia bermain, tahun pindah dari sebuah klub ke klub lainnya dan seabrek hal yang berkaitan dengan bola, semuanya mampu terekam dalam otak, tanpa beban tanpa muroja'ah. Hebat!
Dan ternyata, kakek-kakek yang katanya mudah pikun pun bisa menghapalnya atau masih ingat memori lamanya tentang bola. Luar biasa !!
Allahumma 'afwak wa ghufroonak...
Ana coba bandingkan dengan Imam Bukhori yang mampu menghapal berjuta nama perawi hadits lengkap dengan tahun lahir, tahun wafat, guru-gurunya, murid-muridnya, kota-kota mana yang dikunjungi dan segudang hal lainnya yang berkaitan dengan ilmu hadits. Subhanalloh!!
Berbeda kasus namun ada sebuah keserupaan. Menimbang dan terus menimbang, apakah keserupaan itu? Dan ternyata CINTA-lah jawabannya.
Jika seseorang telah dibuat cinta suatu hal, walaupun harus mendaki gunung, melewati lembah dan membabat hutan semua terasa ringan. Bukan berarti tak ada aral atau rintangan, namun dengan cinta ia rela berkorban. Seolah semua terasa manis.
Tanyakan saja pada Imam Ahmad bin Hanbal yang terkadang ke Kufah lain waktu ke Basrah, tahun ini ke Sana'a di lain hari ke Maghrib, bertholabul ilmi dari ayunan sampai liang lahat, menghimpun lebih dari 300.000 hadits dan berguru kepada lebih dari 420 ulama'. Apa jawaban beliau?
"Aku hanya dibuat cinta pada sesuatu sehingga aku berusaha menghimpunnya."
Subhanalloh!!
Tanpa ada keluh kesah seperti ana mengeluh. Padahal rintangan yang beliau lewati berkali-kali lipat lebih besar ketimbang yang ana hadapi.
Inikah yang namanya cinta? Seolah-olah gunung menjadi kerikil dan lautan pun bak kolam kecil.
Walaupun harus berkencing darah, biarpun terpanggang sengatan matahari, jika didasari cinta, ia rela berkorban.
Seluruh kaum muslimin masih mengenang sahabat Bilal bin Abi Rabah di awal islam. Saat itu kafir Quroisy tanpi henti, tanpa ampun apalagi berbelas kasihan menyiksa orang muslim yang mustadh'afun (tak memiliki pembela dan tertindas) dengan semena-mena. Tak terkecuali Bilal bin Abi Rabah.
Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, kafir Quraisy mulai membuka pakaian mereka, lalu memakaikan baju besi dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy juga mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mencaci maki Muhammad shallallohu 'alaihi wa sallam.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Namun tidak untuk Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Mereka hantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“
Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya.
Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!” Bilal justru menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Siksaan semakin keras dan dahsyat, dan tetap "Ahad...Ahad...".
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, mereka ikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…,Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Itulah buah cinta. Cinta Sang Ahad dan utusan-Nya. Rasa cinta yang terpatri kuat dalam kalbunya mampu mengolah setiap siksaan menjadi keimanan. Setiap bertambah siksa berarti bertambah iman. Ia pun tegar. Ahad.. Ahad..
Itulah namanya cinta!!
Dengarkanlah senandung penyair yang telah terbuai manisnya "CINTA ILMU"
Begadangku tuk perbaiki catatan ilmu...
Lebih elok dari belaian wanita...
Mondar mandirku tuk pecahkan masalah buntu...
Lebih syahdu dari nyanyian sang pujangga...
Tiupanku tuk mengusir debu dari kitabku...
Lebih indah dari gadis menabuh rebana...
Apakah kau kira dapat mengejarku...
Sedangkan kau terus terbuai mimpi dan ku slalu temani purnama...?
Begitulah cinta. Satu pesan yang ingin ana titipkan dalam risalah ini, tentunya untuk kalbuku lalu para sahabatku, cintailah Alqur'an niscaya kau mudah menghapalnya. Cintailah Alqur'an niscaya rintangan kan jadi penunjang. Bidznillah.
Semangatlah, sahabat, untuk Alqur'an. Pintalah pertolongan Allah dan jangan pernah menganggap kecil dirimu. Asalkan ada usaha nyata dan tak hanya berputar-putar dalam labirin "tidak mau", insya Allah engkau akan mendapat kabar gembira dari Allah azza wa jalla.
Semoga Allah memberi ana taufik untuk mengamalkan risalah ini sebelum mencoba menghimpun sebab-sebab tumbuhnya cinta Alqur'an. Amin, ya Mujiibas saa-iliin.
Wallahu a'lam bish showab.
_sakan_masjid_qadeem_Daarul_hadith_bil_fuyush_
_yahya_alwindany_ (salah satu thulab di Darul Hadist Fuyus,Yaman)