Friday, June 27, 2014

Peringatan dari mencela Ulama'

بسم الله الرحمن الرحيم

JANGAN TERTIPU DENGAN GAYA BICARANYA YANG SUKA MENCELA.

(Peringatan Dari Mencela Ulama’)
_________________________________

Peringatan Dari Mencela Ulama’

Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Luwaihiq hafizhahullah berkata dalam “Qawa’id Fi At-Ta’amul Ma’a Al-’Ulama” halaman 101-103:

Sesungguhnya mencela ulama’ dan menghina mereka merupakan jalannya orang yang menyimpang dan sesat. Yang demikian itu karena sesungguhnya mencela ulama bukanlah celaan terhadap diri-diri mereka, akan tetapi itu adalah celaan terhadap agama, dakwah yang mereka emban, dan agama yang mereka anut.

Mencela ulama hukumnya haram karena mereka termasuk muslimin, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِى شَهْرِكُمْ هَذَا فِى بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harga diri – harga diri kalian, haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, dalam bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu.

Dan bertambah keharamannya karena mencela ulama merupakan tangga yang mengantarkan untuk mencela agama. Dan ini adalah yang diinginkan oleh ahlu bida’ yang mencela pendahulu umat ini dan ulamanya yang mengikuti mereka dengan baik. Jalan dan sebab-sebab yang diukur dengan tujuan dan mengikuti hukum tujuan yang dituju.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Disaat tujuan nitu tidaklah tercapai kecuali dengan sebab-sebab dan jalan-jalan yang mengantarkan padanya, jadilah sebab dan jalan tersebut mengikuti hukumnya, dan diukur dengannya. Perantara perkara yang haram dan maksiat terkait dengan dibencinya dan dilarangnya, hal tersebut sesuai dengan kadar besarnya dia bisa mengantarkan pada tujuannya dan sesuai dengan besarnya keterkaitan dengan perkara yang dituju. Perantara perkara ketaatan dan amal baik terkait dengan dicintainya dan dijinkannya sesuai dengan kadarnya dia bisa mengantarakan pada tujuannya. Maka perantara kepada suatu maksud mengikuti hukumnya yang dimaksud. Keduanya sama-sam yang dimaksud hanya saja yang ini dimaksudkan karena dia tujuannya adapun yang satu dimaksudkan sebagai perantara. Jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, yang mana perkara tersebut memiliki jalan dan perantara yang mengantarkan padanya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan perantara tersebut dan melarangnya sebagai wujud pengharamkan perkara tersebut dan pengkukuhan pengharamannya, serta pelarangan dari mendekatinya. Kalau seandainya Allah Ta’ala membolehkan perkara yang mengantarkan pada perkara haram tersebut maka hal itu akan membatalkan pengharaman perkara tersebut, penghasutan terhadap jiwa. Dan hikmah Allah Ta’ala serta ilmu llah Ta’ala jauh dari hal itu sejauh-jauhnya.”. (I’lam Al-Muwaqi’in: 3/147).

Ketika para salaf memahami hal ini maka mereka menghukumi orang yang merendahkan para shahabat adalah orang zindiq dikarenakan akibat yang timbul dari sikap tersebut berupa pelecehan terhadap agama dan penghinaan sunnah pemimpin para rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

Dari Mush’ab bin Abdillah berkata: “Abu Abdillah bin Mush’ab Az-Zubairy mengabarkan padaku: Berkta kepadaku Amirul Mukminin Al-Mahdy: “Wahai Abu Bakr, apa yang kau katakan tentang orang yang merendahakan shahabat Arsulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Aku berkata: ” Dia orang zindiq”. Dia berkata: “Aku belum pernah dengar seorangpun berkata demikian sebelummu.” Aku berkata: “Mereka adalah kaum yang ingin merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka tidak menemukan seorangpun dari umat ini yang mengikuti mereka dalam hal ini. Maka mereka merendahkan para shahabat di sisi anak-anak mereka, dan mereka di sisi anak-anak mereka, seakan-akan mereka mengatakan: “Rasulullah ditemani oleh para shahabat yang jelek, betapa jelek orang yang ditemani oleh orantg-orang yang jelek”. Maka dia berkata: Tidaklah aku melihat kecuali seperti apa yang engkau katakan.”. (Tarikh Baghdad: 10/174).

Kemudian beliau berkata:

Demikian ulama salaf berkata tentang orang yang mencela ulama dari kalangan tabi’in dang orang-orang setelah mereka.

Al-Imam Ahmad rahimhullah berkata: “Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah maka ragukanlah keislamannya. Sesungguhnya Hammad sangat keras terhadap ahlul bid’ah.” (Al-Kifayah: 49).

Dan Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata: “Jika engkai lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah dan Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas maka ragukanlah keislamannya.” (As-Siyar: 7/450).

Semua ini dibawa kepada ucapan tentang seorang ‘alim secara zhalim dan dengan hawa nafsu.

Kemudian beliau berkata:

Sesungguhnya salaf tidak hanya melarang dari mencela ulama, bahkan mereka melarang dari meremehkan ulama.

Al-Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata: “Keharusan bagi seorang yang berakal untuk tidak meremehkan tiga orang: Ulama, Penguasa dan saudara. Siapa yang meremehkan ulama hancurlah akhiratnya, siapa meremehkan penguasa hancurlah dunianya, dan siapa yang meremehkan saudara hilanglah wibawanya.” (As-Siyar: 17/251).

Menghina ulama adalah sikap menyakiti mereka. Dan menyakiti ulama adalah menyakiti wali-wali Allah dan shalihin, kaarena ulama orang yang pertama kali disifati sebagai wali Allah Ta’ala. Dan ini maknanya bahwa menyakiti ulama adalah perkara yang bahaya. Karena siapa yang memusuhi wali Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala mengumumkan peperangan padanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsy,

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

“Siapa memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan padanya peperangan.” (Diriwayatkan Al-Bukhary).

Menghina ahlul ilmi wa fadhl serta mencela dan merendhakna mereka bahaya bagi agama seseorang, dimana itu bisa mengantarkan pelakunya pada akibat yang tidak dia kira dan tanggung. Seorang munafiq telah mengatai shahabat: “Tidaklah aku melihat seperti para qura’ kita itu yang paling tamak perutnya, paling dusta lisannya dan paling penakut ketika bertemu musuh”. Maka jadilah kalimat ini tanda akan kufurnya orang-orang munafiq ini. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tentang mereka menolak udzur mereka,

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ * لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ

“Dan jika engkau tanya mereka niscaya mereka akan mengatakan: “Sesungguhny kami hanya bergurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah kalian meminta ma’af, karena kalian telah kafir setelah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan orang dari kalian niscaya Kami akan mengadzab golongan yang lain dikarenkan mereka adalah orang yang berbuat dosa.” (At-Taubah: 65-66)

Allah Ta’ala telah menjadikan hinaan mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabatnya adalah hinaan terhadap Alah Ta’ala.

Kemudian beliau berkata:

Dan menggunjing ulama dosanya lebih besar dari pada menggunjing selain mereka.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir Ad-Dimasyqy berkata: “Ketahuilah wahai saudaraku semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kami dan engkau untuk meraih ridha-Nya dan menjadikan kita termasuk orang yang takut dan bertakwa pada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Sesungguhnya daging para ulama rahimahumullah itu beracun, dan kebiasaan Allah Ta’ala dalam mengkoyak tirai penutup orang yang merndahkan ulama itu sangat jelas. Karena menuduh mereka dengan perkara yang mereka bebas darinya adalah hal yang sangat besar. Mengusik kehormatan mereka dengan dusta dan mengada-ada adalah ladang yang membahayakan dan menyelisihi orang yang dipilih Allah Ta’ala dari mereka untuk menyebarkan ilmu adalah akhlaq yang sangat tercela.” (Tabyin Kadzib Al-Muftary: 28)

Janganlah engkau menjadikan para gembel berani mencela ulama. Sesungguhnya sebagian penuntut ilmu bmenjadikan manusia lancang mencela ulama dengan melontarkan ucapan yang tidak dia sangka akan sampai kemana saja. Maka dia amaengatakan: “Fulan tidak diperhitungkan keshahihannya, Fulan tidak diterima pendapatnya”. Bisa jadi perkataan orang yang mengkritik inhi benar akan tetapi seyogyanya tidak dikatakan di depan umujm, di depan orang yang baru menuntut ilmu yang tidak bisa menimbang ucapan dan tidak bisa mengukurnya. Bahkan dia mengambil kalimat itu lalau lancang -dengan semboyan kami rijal dan mereka rijal- terhadap ulama kemudia terhadap para imam, demikian seterusnya, maka kejelekan itu awalnya kejelekan.

Diterjemahkan dengan sedikit peringkasan takhrij oleh

‘Umar Al-indunisy

Darul HAdits – Ma’bar, Yaman.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites