Saturday, March 29, 2014

FIQH PRAKTIS "Permasalahan Bejana-Bejana"

______________________________
          بسم الله الرحمن الرحيم

.................................................
Bacaan Pekanan Al-Fawāid Edisi 6.
.................................................

FIQH PRAKTIS

                 ��

"Permasalahan Bejana-Bejana"

Kaum Muslimin Rohimakumullōh.

Bacaan Pekanan Al-Fawāid edisi kali ini kembali akan mengangkat permasalahan fiqh-praktis, sebagaimana dalam sekian waktu berulang edisi pembahasan dari Bacaan Pekanan Al-Fawāid ini.

Dan pembahasan fiqh masih terkait dengan bersuci, yaitu pada permasalahan pada peralatan yang digunakan untuk bersuci, dan juga ada tambahan faidah dan ilmu dari pembahasannya. 

Kali ini kita akan angkat dengan ringkas pembahasan tentang bejana-bejana.

Bejana-bejana dalam pembahasan fiqh Islam disebut dengan istilah “Āniyah” (الآنية), dan definisinya adalah: tempat yang digunakan untuk menampung air dan semisalnya. 

Inilah definisi āniyah.

Dan para ahli Fiqh terkadang mendifinisakannya dengan makna yang lebih umum dan luas, yaitu: “Semua alat yang digunakan untuk  menampung selainnya” dalam konteks poembahasan air dan peralatan sehari-hari, sehingga termasuk dalam pembahasan ini baskom, ember, panci, periuk, piring, gelas atau selainnya. Dan definisi umum ini sesuai dengan dalil-dalil yang disebutkan dalam permasalahan aniyah sebagaimana yang akan kita sebutkan. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah).

Permasalahan Pertama:

"Menggunakan Āniyah Yang Terbuat Dari Emas Dan Perak Atau Selainnya Untuk Bersuci".

Boleh menggunakan aniyah yang terbuat dari emas dan perak untuk bersuci dan untuk penggunaan lainnya, karena hukum asalnya aniyah adalah mubah atau boleh selama tidak ada dalil larangannya. Larangan yang ada hanya terdapat dalam penggunaan yang terkait dengan makan dan minum bukan untuk penggunaan lainnya, dalam hadits Rasulullōh shollallōhuàlaihi wa sallam bersabda:

لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهِمَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ

“Janganlah kalian minum dari aniyah yang terbuat dari emas dan perak dan juga jangalah makan dengan piring yang terbuat darinya, sebab itu diperuntukkan bagi mereka (orang kafir; pent) dan untuk kalian kelak di akhirat (Syurga)”. (HR. Bukhoriy-Muslim).

Dan juga beliau pernah bersabda: “Sesungguhnya orang yang minum dan makan dari aniyah yang terbuat dari perak itu kelak akan terguncang perutnya di neraka Jahannam”. (HR. Bukhoriy-Muslim).

Dan larangan disini berlaku secara umum, baik piring dan gelas yang terbuat murni dari emas dan perak atau hanya sebatas campuran.

Larangan dari hadits tersebut adalah jika penggunaannya untuk makan dan minum, dan tidak pada selainnya. Sehingga bersuci dengan aniyah yang terbuat dari emas dan perak itu dibolehkan.

Permasalahan Kedua:

"Āniyah Berupa Piring Atau Gelas Bila Terdapat Bahan Dari Perak Atau Emas".

Apabila āniyah yang berupa piring atau gelas terdapat padanya tambahan sesuatu yang terbuat dari emas maka hukumnya haram, tidak dibolehkan karena termasuk larangan di atas secara umum.

Akan tetapi jika tambahan tersebut terbuat dari perak yang sedikit karean dibutuhkan semisal untuk penyambung atau penambal, dua alasan seperti ini dibolehkan. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik rodhiallōhuànhu beliau menceritakan bahwa Rasulullōh shollallōhuàlaihi wa sallam pernah gelas beliau pecah kemudian beliau menambalnya dengan bahan yang terbuat dari perak. (HR. Bukhoriy: 3109).

Dan jika tidak ada hajatnya, semisal hanya untuk hiasan atau mungkin saja ada hajatnya tetapi terlalu banyak kandungannya, maka masuk ke dalam larangan asalnya.

Permasalahan Ketiga:

"Menggunakan Āniyah Non-Muslim".

Aniyah milik non-Muslim hukum asalnya juga dibolehkan untuk digunakan, kecuali apabila diketahui dengan jelas mengandung najis, maka tidak dibolehkan menggunakannya kecuali dicuci hingga bersih dan hilang bekas najisnya tersebut. Hal ini berdasarkan hadits dari shohabat Abu Tsa’labah Al-Khusyaniy rodhiallōhuànhu beliau berkata kepada Rasulullōh shollallōhuàlaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: لَا تَأْكُلُوا فِيهَا، إلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا فِيهَا

“Wahai Rosulullōh, kami berada di tempat negeri non-Muslim dari kalangan ahli kitab, apakah kami boleh makan dengan menggunakan aniyah milik mereka?”, Beliau menjawab: “Janganlah kalian makan darinya, kecuali jika kalian tidak mendapatkan selainnya maka cucilah dan gunakanlah makanlah darinya”. (HR. Bukhoriy-Muslim).

Adapun jika kita tidak mengetahui akan kenajisannya, tidak juga mengetahui apakah pemiliknya menggunakannya untuk benda najis dengan langsung, maka keadaan seperti ini boleh menggunakan aniyah milik non-Muslim tersebut. Hal ini berdasarkan hadits yang menjelaskan bahwasanya Nabi dan para shohabatnya pernah berwudhu dengan mengambil air dari keranjang milik seorang yang non-Muslim. (HR. Bukhoriy no. 344, Muslim no. 286).

Dan juga Nabi pernah menerima pemberian dari seorang wanita Yahudi yang member beliau masakan daging kambing ketika peritiwa Khoibar, dan Beliau menerima serta makan dari pemberian tersebut. (HR. Bukhoriy-Muslim).

Sehingga hukum asal āniyah milik non-Muslim itu boleh digunakan oleh kaum Muslimin apabila tidak diketauhi akan kenajisannya dengan pasti. Sebab dalam hadits-hadits di atas, Nabi menerima pemberian yang berasal dari non-Muslim dengan aniyah mereka, dan ini juga menunjukkan akan luasnya rahmat Islam sebagaimana yang ditauladankan nabi, sebab hukum akan sesuatu tidak bisa dibangun hanya sebatas keragu-raguan atau praduga semata.

Permasalahan Keempat:

"Bersuci Dengan Menggunakan Aniyah Yang Terbuat Dari Kulit Hewan".

Kulit hewan yang telah disamak itu boleh digunakan, hal ini berdasarkan sabda Rasulullōh shollallōhuàlaihi wa sallam pada suatu ketika beliau dan para shoahabatnya berlalu melewati bangkai seekor kambing, maka beliau berkata kepada para shohabatnya: “Kenapa kalian tidak ambil kulitnya, kemudian disamak dan kalian manfaatkan??”, para shohabat menjawab: “Sudah bangkai, wa Rosulullōh”, maka Nabi bersabda: “Ya, akan tetapi bangkai itu haram dimakan saja”. (HR. Muslim no: 363).

Dan beliau juga bersabda dalam hadits lainnya:

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

“Kulit hewan apa saja yang telah disamak maka menjadi suci”. (HR. Muslim no. 366, Tirimidziy no. 1650).

Sehingga dibelehkan apabila hewan selain Anjing dan Babi apabila telah menjadi bangkai dan diambil kulitnya kemudian disamak hingga bersih dan dimanfaatkan hal tersebut.

Diperkecualikan Anjing dan Babi, karena keduanya merupakan hewan yang najis pada asalanya, dan tidaklah terangkat kenajisannya walaupun telah mati. Adapun penyamakan itu adalah prosesi yang membuat suci dari kenajisan yang terjadi karena matinya hewan, adapun babi dan anjing sebelum matinya memang sudah najis, sehingga kulitnya walaupun disamak tetaplah tidak dibolehkan untuk diambil dan dimanfaatkan.

Adapun selainnya dari hewan-hewan baik yang halal atau tidak halal dimakan, buas atau tidak buas, apabila telah disamak kulitnya maka boleh digunakan dan dimanfaatkan, dengan kemanfaatan yang dibutuhkan seperti untuk alat sebagai penampung air untuk berseci atau penggunaan yang lebih umum seperti untuk tali pinggang dan selainnya.

Adapun cara menyamaknya tidaklah dibatasi dengan cara tertentu, sebab tidak ada dalil batasannya, selama cara yang ditempuh mampu mengangkat najis dan kotoran-kotoran yang melekat di kulit hewan tersebut maka cara tersebut dibolehkan. Misalnya dengan terlebih dahulu disayat kulit binatang dari badannya (setelah disembelih) kemudian dicukur semua bulu-bulu dan dibersihkan segala urat-urat dan lendir-lendir daging dan lemak yang melekat pada kulit. Kemudian direndam kulit itu dengan air yang bercampur dengan benda-benda yang menjadi alat penyamak sehingga tertanggal segala lemak-lemak daging dan lendir yang melekat di kulit tadi. Kemudian diangkat dan dibasuh dengan air yang bersih dan dijemur.

Atau cara yang lainnya.

Kaum Muslimin Rohimakumullōh.

Demikianlah pembahasan ringkas tentang bejana-bejana ini, dan yang terpenting dari faidah yang kita ambil adalah pentingnya untuk mengetahui pembahasan fiqh dalam Islam ini, sebab ia merupakan penjabaran dari Allōh dan Rosul-Nya sebagaimana yang dijelaskan oleh para Ulama ahli Fiqh dalam rangka untuk mewujudkan peribadahan kepada Allōh tabāroka wataàlā, sehingga amal ibadah yang diwujudkan sesuai dengan tuntunan dari dalil-dalil yang datang dari Al-Qur’an dan Sunnah Rosul shollallōhu’alaihi wasallam.

Mudah-mudahan bermanfaat.

Wallōhuàlam.

(Referensi utama: Kitab: Al-Fiqh Al-Muyassar, Al-Mughniy karya imam Ibnul Qudamah, Al-Mausuàh Al-Fiqhiyyah, dll. Dan pembahasan ini merupakan penulisan dari kajian fiqh rutin yang terselenggara pekanan di Masjid Telkom – Palembang).

Akhukum Hudzaifah bin Muhammad.

     =[Majmù Al-Fawāid]=

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites