Friday, October 24, 2014

Poligami di antara Dua Perasaan

oleh: Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]
Seorang wanita duduk termenung sambil memikirkan orang-orang yang sudah berkeluarga dari kalangan karib kerabat, teman dan handai taulannya. Ia mulai menghitung usianya hari demi hari semakin bertambah, tanpa ada ketukan pintu dari seorang pria yang idamkan sebagai pasangan hidupnya. Tahun demi tahun berlalu, namun jodoh tak kunjung datang, akibat sedikitnya jumlah kaum lelaki dibandingkan wanita berdasarkan sensus kependudukan[1]Lalu apa solusinya?!
Di sudut sana, ada seorang lelaki siang hari banting tulang menafkahi istri yang tercinta. Dia telah membangun mahligai rumah tangga demi meraih kebahagian dunia dan akhirat, namun sampai hari ini ia belum dikaruniai anak yang merupakan buah hati dan kasih sayangnya. Keluar-masuk rumah, dan hidup bersama dengan istri yang tercinta, terasa belum sempurna kebahagiaan mereka. Rumah amat terasa sunyi tanpa bahak dan tangis sang kecil yang tercinta. Segala daya dan upaya mereka tempuh demi mendapatkan anak, namun mereka tak kunjung berhasil, bahkan dokter menvonis sang istri bahwa ia mandul, karena suatu penyakit yang mendera rahimnya, sehingga mereka tak akan ditaqdirkan mendapatkan anak. Lalu apa jalan keluarnya?!
Para pembaca yang budiman, sadarkah kita bahwa di negeri sana seorang wanita miskin yang hidup sebatang kara, tanpa sanak saudara dan kerabat yang bisa membantu dan menolong hidupnya. Terlebih lagi ia tak mendapatkan suatu pekerjaan yang layak bagi dirinya selaku wanita yang menjaga harga dirinya. Ia mengharapkan kehadiran seorang suami, namun tak ada mau, karena keadaan dirinya. Ada yang mau, hanya saja lelaki itu sudah beristri. Lantas apa solusinya?!
Di kampung sana, ada seorang pria yang bekerja di dua negeri yang berbeda. Ia tinggal sebulan disana dan sebulan disini. Sementara itu ia hanya memiliki seorang istri nun jauh dari pelupuk matanya. Terkadang hati kecilnya berbisik dan pandangannya menerawang ke langit di saat kesendirian memikirkan beratnya penderitaan saat berpisah dengan istri yang ia kasihi, tanpa ada teman yang memecahkan kebisuan dan mengiringi kebahagiaannya. Sesekali ia digoda oleh setan jahatnya agar ia mencari wanita penghibur. Tapi demikiankah jalan keluarnya?! Ah, tidak!! Itu adalah maksiat yang terkutuk. Lantas bagaimana dan apa yang ia harus lakukan dalam kondisi demikian?!
Seorang wanita keluar dari rumahnya dari waktu pagi hingga petang demi mencari sesuap nasi. Ia tak memiliki saudara dan ayah yang siap menanggung hidupnya. Kodrat seorang wanita yang lemah tak lepas dari aktifitasnya. Sebagian diantara wanita yang seperti ini sampai melakukan pekerjaan layaknya lelaki. Sementara itu tak ada pria lajang yang mau menyambutnya sebagai pendamping hidupnya. Ada yang mau, tapi ia tak mau dengan tipe wanita seperti itu. Dalam artian, si lelaki mencari wanita yang lebih mapan hidupnya, atau lebih lembut. Tegakah kita membiarkan wanita ini terus bekerja di luar, tanpa solusi yang cepat?! Lantas apa solusinya?!
Sebagian kaum lelaki ada yang memiliki syahwat yang tinggi. Sementara kadang istrinya haidh atau nifas (habis melahirkan) dalam waktu berhari-hari. Akankah kita menahan syahwat dan perasaannya yang bergejolak. Terkadang hal itu mudah menyeret dirinya kepada perbuatan mesum?!
Di lain pihak, beberapa perempuan pun terkadang ada diantara mereka memiliki gejolak syahwat yang berlebihan. Jika hal itu tak dilampiaskan melalui jalan pernikahan, maka akan menyeret mereka kepada jurang kehinaan. Ia akan mencari lelaki bejat yang siap menjatuhkan kehormatannya. Ada yang ingin menyelamatkan hidupnya dalam waktu yang cepat, namun ia ditolak calon mertua dengan dalih ia sudah beristri!! Lantas bagaimana menyelamatkan si gadis ini dari ancaman syahwat yang bergejolak. Akankah kita biarkan ia tersiksa dan pada akhirnya pergi mencari orang-orang yang siap memuaskan birahinya?!
Banyak diantara kaum wanita sudah menginjak usia layak  nikah, bahkan sudah melewati usia layak itu, tapi ia belum dilamar juga. Mereka sudah siap memasuki pintu pernikahan. Namun apa daya, kaum lelaki lajang sangat jarang yang mampu dan bersegera menikah akibat tingginya biaya pernikahan dan mahalnya kebutuhan hidup serta semakin melonjaknya harga barang-barang. Semua ini menjadi ganjalan pikiran para pria lajang[2].
Ada diantara kaum lelaki yang memiliki kemampuan harta dan fisik, namun ia sudah menikah. Akankah kita tutup pintu pernikahan baginya, sedang ia mampu menghidupi dua orang atau lebih istri?! Apakah kita tutup berbagai jalan-jalan kebaikan dan amal sholih baginya dengan menutup pintu nikah baginya untuk kedua dan seterusnya?!
Janda-janda yang ditinggal suami, entah karena mati atau karena cerai banyak hidup di sekitar kita. Siapa yang mau memperhatikan hidup mereka di saat kebanyakan kaum lelaki lajang tak mau menikah, selain dengan wanita perawan dengan berbagai macam alasan mereka?! Akankah kita rela menyaksikan mereka keluar bekerja layaknya kaum lelaki demi menghidupi diri, anak-anak dan keluarganya?! Sementara itu ada lelaki perkasa yang siap lahir-batin menikahinya dan menafkahinya selaku istri kedua atau seterusnya?! Nah, bagaimana perasaan kita dan perasaan mereka, bahkan perasaan kaum lelaki itu di saat kita menutup rapat pintu poligami baginya?!!!
Para pembaca yang budiman, inilah fakta nyata di alam nyata ini yang menggambarkan kepada kita tentang dua perasaan anak manusia yang dikorbankan oleh para penentang poligami. Akankah kita membiarkan dua perasaan itu menjadi korban dengan melarang poligami bagi mereka yang telah mampu dalam sisi harta, fisik, dan lainnya.
Tegakah kita membiarkan wanita dalam penantian yang panjang sampai mereka melewati usia pernikahan? Senangkah kita melihat penderitaan batin seorang lelaki yang bekerja sebulan disana dan sebulan disini, tanpa teman hidup, padahal ia mampu menikah dan menafkahi istri pertama bersama madunya?! Kira-kira berakalkah kita melarang suami (yang beristri mandul) dari berpoligami?! Lalu bayangkan perasaan dan batinnya yang tersiksa?!
Coba bayangkan betapa zholimya saat kita melarang para gadis menikah dengan suami yang sholih dengan alasan ia sudah beristri. Padahal si gadis siap dimadu dan mau menjalani kehidupan rumah tangga dengan suaminya. Masuk akalkah jika kita melarang mereka dari pernikahan dan poligami, sementara pada waktu yang sama kita biarkan mereka mencari lelaki dan pacar yang sering kali merenggut kehormatan mereka?!
Tegakah kita melihat seorang lelaki yang memiliki istri yang sakit atau lemah fisik. Di pagi hari ia mengerjakan tugas-tugas istrinya, mulai dari memasak, mencuci pakaian atau menjemurnya, menyapu, membersihkan rumah, menyiapkan makanan bagi anak-anaknya yang hendak pergi ke sekolah, melipat pakaian yang menumpuk dan sederet pekerjaan lain yang biasa dikerjakan oleh wanita saat ia di rumah. Sepulang kerja ia kembali mengerjakan sesuatu yang perlu dibereskan. Tegakah kita melihat mereka bekerja keras di rumah, selanjutnya banting tulang di lapangan kerja, tanpa ada bantuan dan hiburan dari istri di rumah?! Padahal si suami jika menikah, maka ia mampu menghidupi dan menanggung biaya hidup para istrinya serta bebannya akan terasa ringan.
Mereka yang melarang poligami dan menentangnya karena terpengaruh dengan pemikiran kafir barat; siapkah mereka menjalani kehidupan seperti ini sepanjang hidupnya, tanpa dibantu oleh istri yang lain?! Jawabnya, tentu tidak dan sekali-kali tidak!!!
Mungkin ada diantara mereka punya pikiran akan mendatangkan pembantu, baik lelaki, maupun perempuan. Namun hal itu bukanlah solusi yang tepat, sebab pembantu terkadang, bahkan sering kali menimbulkan problema lain bagi rumah tangga majikannya.
Sekali lagi bahwa semua fakta dan kenyataan di atas tak ada jalan dan solusi baginya, selain jalan poligami.Paling tidak poligami adalah salah satu solusi jitu bagi problema-problema sosial tersebut!!! Inilah jalan hikmah yang dituntunkan dan dianjurkan oleh syariat agama kita!!!!
Allah -Azza wa Jalla- berfirman dalam membolehkan poligami karena mengandung banyak maslahat dan kebaikan,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa`: 3)
Allah -Ta’ala- juga berfirman dalam Surah yang sama dalam menetapkan bolehnya poligami dengan asas adil diantara mereka dalam perkara lahiriah, bukan batin,
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa`: 129)
Ayat ini menunjukkan wajibnya suami yang berpoligami untuk berlaku adil diantara istrinya dalam perkara lahiriah berupa nafkah, dan pembagian hari. Adapun dalam perkara batin berupa kecintaan, maka seorang suami tidaklah wajib adil diantara mereka dalam hal itu sebagaimana Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dahulu dalam mencintai istrinya. Beliau tidaklah menyamakan kecintaannya kepada semua istrinya. Bahkan beliau lebih mencintai sebagiannya atas sebagian yang lain. Dalam hal cinta, seorang manusia memang tak mampu berlaku adil, karena itu adalah urusan di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Allah tidaklah mengharuskan suami yang berpoligami untuk berlaku adil dalam hal cinta. Yang wajib dalam perkara lahiriah.
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabariy -rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat di atas, “Kalian, wahai kaum lelaki, tak akan mampu menyamakan istri-istrimu dalam hal cinta di dalam hatimu sampai kalian berbuat adil di antara mereka dalam hal itu. Maka tidak di hati kalian rasa cinta kepada sebagiannya, kecuali ada sesuatu yang sama dengan madunya, karena hal itu kalian tidak mampu melakukannya, dan urusannya bukan kepada kalian”.[Lihat Jami’ Al-Bayan (9/284)]
Syaikh Muhammad bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- juga berkata dalam menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129), “Allah -Ta’ala- mengabarkan bahwa suami tidak akan mampu. Bukanlah kesanggupan mereka berbuat adil secara sempurna di antara para istri, sebab keadilan mengharuskan adanya kecintaan, motivasi, dan kecenderungan yang sama dalam hati kepada para istri, kemudian demikian pula melakukan konsekuensi hal tersebut. Ini adalah perkara yang susah dan tidak mungkin. Oleh karena itu, Allah -Ta’ala-  memaafkan perkara yang tidak sangup untuk dilakukan. Kemudian, Allah -Ta’ala- melarang sesuatu yang mungkin terjadi (yaitu, terlalu condong kepada istri yang lain, tanpa menunaikan hak-hak mereka yang wajib-pent),
فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”. (QS. An-Nisa`: 129)
Maksudnya, janganlah engkau terlalu condong (kepada istri yang lain) sehingga engkau tidak menunaikan hak-haknya yang wajib, bahkan kerjakanlah sesuatu yang berada pada batas kemampauan kalian berupa keadilan.Maka memberi nafkah, pakaian, pembagian dan semisalnya,  wajib bagi kalian untuk berbuat adil di antara istri-istri dalam hal tersebut, lain halnya dengan masalah kecintaan, jimak (bersetubuh), dan semisalnya, karena seorang istri, apabila suaminya meninggalkan sesuatu yang wajib (diberikan) kepada sang istri, maka jadilah sang istri dalam kondisi terkatung-katung bagaikan wanita yang tidak memiliki suami, lantaran itu sang istri bisa luwes dan bersiap untuk menikah lagi serta tidak lagi memiliki suami yang menunaikan hak-haknya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 207)]
Lebih gamblang, seorang mufassir ulung, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata dalam ketika menafsirkan ayat di atas, “Keadilan ini yang disebutkan oleh Allah disini bahwa ia tak mampu dilakukan adalah keadilan dalam cinta, dan kecenderungan secara tabiat, karena hal itu bukan di bawah kemampuan manusia. Lain halnya dengan keadilan dalam hak-hak yang syar’iy, maka sesuangguhnya itu mampu dilakukan (oleh seorang suami)”.[Lihat Adhwa’ Al-Bayan (1/375)]
Poligami merupakan syariat yang penuh hikmah, adil dan lurus. Ia amat cocok dengan fitrah manusia. Poligami banyak membawa kemaslahatan hidup manusia dan mencegah berbagai macam kerusakan akhlak dan kebobrokan sosial di masyarakat.
Lantaran itu para nabi dan rasul sejak dahulu mengamalkan syariat poligami yang mulia ini, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, Nabi Sulaiman dan yang terakhir Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Mereka melakukannya agar umat manusia berteladan kepada mereka dalam kebaikan ini.
Poligami amat sesuai dengan asas perikemanusiaan. Dengan poligami, seorang suami membantu dan menafkahi banyak orang serta mengarahkan dan membimbing mereka ke jalan kemuliaan. Dengan poligami, pria telah menjaga kesucian dirinya dan kesucian diri para wanita yang menjadi istrinya. Tanpa suami, wanita seringkali menjadi bahan permainan kaum lelaki berhidung belang!! Apalagi jika para wanita campur baur dengan kaum pria di lapangan pekerjaan!!! Cerita hidup banyak membuktikan banyaknya wanita yang menjadi korban hina, akibat keluarnya mereka bekerja bersama kaum lelaki dalam satu lapangan dan tempat kerja!!!!
Jadi, poligami amat banyak membawa dampak positif bagi kehidupan manusia. Dengannya, banyak terealisasi amal-amal kebajikan dan ketaatan, berupa infak, sedekah, ta’awun (kerjasama) di atas kebaikan dan ketaqwaan, menjaga kehormatan dan kesucian diri dan pasangan, mendidik keluarga dan anak-anak yang ada di bawah pengasuhannya, meringankan tugas dan beban kehidupan dengan mudah dan bahagia, mencegah dan meminimalkan berbagai kerusakan akhlaq dan kebobrokan sosial akibat menjamurnya pergaulan bebas,meningkatkan perekonomian masyarakat[3] dan masih banyak lagi sisi-sisi positif yang ditimbulkan oleh syariat poligami!!
Tak heran bila sahabat Ibnu Abbas menyatakan bahwa sebaik-baik orang diantara umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya, dan tentunya maksimal empat orang.
Seorang tabi’in, Sa’id bin Jubair -rahimahullah-   berkata,
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ:هَلْ تَزَوَّجْتَ؟ قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَتَزَوَّجْ، فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً
“Ibnu Abbbas berkata kepadaku, “Apakah engkau telah menikah ?” Aku jawab, “ Belum”. Ibnu Abbas berkata,“Lantaran itu, menikahlah!! Karena, sebaik baik manusia pada umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya”.  [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (5069)]
Poligami adalah perkara yang sudah masyhur dan lumrah di kalangan para sahabat Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-. Mereka telah tahu, merasakan dan membuktikan kebaikan poligami bagi dunia dan akhirat mereka!!
Sahabat Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
مِنَ السُّنَّةِ إِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ الْبِكْرَ عَلَى الثَّيِّبِ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا وَقَسَمَ وَإِذَا تَزَوَّجَ الثَّيِّبَ عَلَى الْبِكْرِ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلَاثًا ثُمَّ قَسَمَ
“Termasuk sunnah jika seorang laki laki menikahi perawan setelah istri sebelumnya janda, maka sang suami pun tinggal di rumah istri yang perawan ini selama tujuh hari, lalu (setelah itu) ia membagi (hari-harinya). Jika seorang laki laki menikahi janda setelah istri sebelumnya perawan, maka sang suami tinggal di rumah istri yang janda selama tiga hari, kemudian dia bagi (hari-harinya)”. [HR Bukhariy dalam Ash-Shohih (no. 5214)]
Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini, ada anjuran untuk menikah dan meninggalkan hidup membujang”. [Lihat Fathul Bari (9/10)]
Para pembaca yang budiman, satu diantara kemaslahatan akhirat yang amat dianjurkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, yaitu memperbanyak anak dan keturunan. Nah, poligami tentunya jalan yang bisa merealisasikan hal ini.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدُ، فَإِنِّيِ مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ
“Nikahilah wanita yang amat penyayang dan peranak. Karena, sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya kalian di depan para umat”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 2050) dan An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (no. 3227). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 3091)]
Salah satu diantara tujuan nikah adalah untuk mendapatkan keturunan yang banyak. Disinilah hikmahnya memperbanyak istri sampai maksimal empat orang, tak boleh lebih darinya. Itulah orang yang terbaik. Sebab, dengan nikah ia dapat memperbanyak anak. Dengan adanya anak, banyak jalan-jalan kebaikan yang dapat dilakukan oleh seseorang selaku orang tua[4].
Para pembaca yang budiman, di akhir tulisan ini, kami mau mengajak anda berpikir. Di saat ini ada orang yang berusaha menolak dan mengingkari syariat poligami dengan alasan mengorbankan perasaan wanita yang dimadu dan dipoligami. Tapi kira-kira siapakah yang lebih dikorbankan perasaannya?! Jika poligami ditolak, maka ada dua perasaan yang akan korban: perasaan laki-laki dan wanita yang siap berpoligami. Sementara jika berpoligami yang “korban” hanya satu perasaan, yaitu perasaan istri saja[5].
Tapi sebenarnya jika seorang wanita selaku istri pertama taat kepada agamanya; taat kepada Al-Qur’an dan Sunnah, maka pasti ia tak akan merasa rugi dan korban, bahkan ia merasa bahagia telah membantu suaminya dalam melakukan kebaikan[6]Sebab ia yakin bahwa tak ada sesuatu yang ditetapkan oleh Allah, kecuali kemaslahatan dan kebaikannya jauh lebih besar dibandingkan kerusakannya!!
Sekedar menjadi kesimpulan dan bahan renungan, di penghujung tulisan ini, kami nukilkan kepada anda ucapan ulama kita di bawah ini.
Al-Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata,
“Diantara petunjuk Al-Qur’an menuju jalan lebih lurus, Al-Qur’an membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dan bahwa seorang lelaki bila khawatir untuk berlaku adil diantara mereka, haruslah baginya mencukupkan diri dengan satu istri atau dengan budak (wanita)nya[7].
Tak ada keraguan sama sekali bahwa jalan yang merupakan paling dan paling adil adalah membolehkan poligami karena adanya beberapa perkara indrawi yang diketahui oleh setiap orang yang berakal. Diantaranya:
  • Seorang wanita (istri) akan mengalami haidh, sakit, nifas (melahirkan) dan seterusnya diantara kendala-kendala yang menghalangi wanita dari melaksanakan konsekuensi pernikahannya. Sementara itu suami amat siap dalam menambah umat (keturunan). Andaikan suami dihalangi dari hal itu di saat-saat adanya udzur-udzur itu, maka manfaat dan fungsi seorang suami secara percuma, tanpa dosa.
  • Diantaranya, Allah telah memberlakukan suatu kebiasaan bahwa kaum lelaki lebih sedikit dibandingkan kaum wanita di seluruh penjuru dunia dan kaum lelaki lebih sering berhadapan dengan penyebab-penyebab kematian dibandingkan kaum wanita di seluruh lini kehidupan. Andaikan seorang lelaki dibatasi  pada satu istri, maka akan tinggallah jumlah yang banyak dari kalangan wanita dalam kondisi terhalangi dari (mendapatkan) suami. Akibatnya, mereka terpaksa melakukan perbuatan keji (zina).
Berpaling dari petunjuk Al-Qur’an dalam permasalahan ini, termasuk sebab terbesarnya sirnanya akhlaq dan jatuhnya (kaum manusia) ke tingkatan hewani dalam hal mereka tak lagi menjaga dan memelihara kemuliaan, kehormatan diri dan akhlaq. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui…
  • Daintaranya, wanita seluruhnya telah bersiap menikah. Sementara itu, kebanyakan diantara kaum lelaki tak memiliki kemampuan untuk memenuhi berbagai tuntutan pernikahan karena kefakiran mereka. Jadi, kaum lelaki yang bersiap menikah lebih kurang dibanding kaum wanita yang bersiap nikah. Karena, wanita tak memiliki penghalang (untuk menikah)[8]. Sedangkan kaum lelaki dihalangi oleh kefakiran dan ketidakmampuan mereka atas konsekuensi pernikahan.
Andaikan seorang lelaki dibatasi pada satu istri saja, maka akan tersia-siakan kebanyakan wanita yang telah bersiap menikah, dengan sebab tidak adanya suami-suami mereka. Akhirnya, hal itu akan menjadi sebab hilangnya keutamaan dan tersebarnya perbuatan keji, penurunan akhlaq dan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hal itu telah nyata…
Adapun sesuatu yang diklaim oleh orang-orang mulhid dari kalangan musuh-musuh agama Islam bahwa poligami akan menciptakan adanya pertengkaran dan huru-hara yang berkepanjangan lagi mengantarkan kepada kesusahan hidup. Karena, setiap kali ia membuat salah satu dari dua istrinya, maka yang lainnya akan murka. Jadi, si suami senantiasa berada diantara dua kemurkaan; dan bahwa hal ini tentunya bukan termasuk hikmah!! Maka klaim ini keliru, jelas kekeliruannya bagi setiap orang yang berakal.
Karena, pertengkaran dan keributan diantara penghuni sebuah rumah, sama sekali tak akan pernah lepas darinya. Hal seperti itu akan terjadi antara seseorang dengan ibunya, antara ia dan bapaknya, antara ia dengan anak-anaknya, dan antara ia dengan seorang istrinya[9]. Jadi, hal ini (yakni, ribut dan bertengkar) adalah perkara yang lumrah, bukan masalah besar.
Hal demikian dibandingkan dengan kemaslahatan-kemaslahatan besar yang kami telah sebutkan dalam poligami berupa adanya perlindungan bagi kaum wanita, pemudahan jalan pernikahan bagi kaum seluruh wanita, dan semakin banyaknya jumlah umat untuk bangkit dengan jumlah besar ini di hadapan musuh-musuh Islam. Hal itu (keributan dan pertengkaran) dibandingkan semua kemaslahatan itu, laksana sesuatu yang tak ada (pengaruhnya). Karena, kemaslahatan yang lebih besar diutamakan pengambilannya atas pencegahan mafsadah (kerusakan) yang kecil.
Andaikan kita tetapkan (akui) bahwa keributan yang diklaim tadi dalam poligami adalah mafsadah (kerusakan), ataukah bahwa menyakiti hati istri pertama dengan (kehadiran) madunya, niscaya didahulukan kemaslahatan besar yang telah kami sebutkan atas kerusakan ini sebagaimana hal ini telah dikenal dalam ilmu ushul…
Jadi, Al-Qur’an telah membolehkan poligami, karena kemaslahatan wanita agar tidak terhalangi dari menikah dan kemaslahatan kaum laki-laki agar manfaat dan fungsinya tidaklah tertunda (yakni, sia-sia) di saat kondisi adanya udzur (penghalang) pada diri satu istri dan demi kemaslahatan umat agar jumlah mereka banyak, sehingga mungkin bagi mereka untuk menghadapi musuh agar kalimat Allah, dialah yang paling tinggi. Jadi poligami itu adalah penetapan syariat dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Tak ada yang mencela poligami, selain orang yang Allah butakan mata hatinya dengan sebab gelapnya kekafiran!! Sedang pembatasan istri dengan jumlah empat berasal Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembatasan itu adalah perkara yang pertengahan (sedang) antara nilai kurang yang akan mengantarkan kepada tidak berfungsinya sebagian fungsi kaum lelaki dengan nilai banyak yang merupakan kemungkinan tak mampunya seorang lelaki untuk melaksanakan berbagai tuntutan nikah bagi semua pihak. Ilmu itu hanyalah ada di sisi Allah -Ta’ala-“. [LihatAdhwa' Al-Bayan (3/22-24) karya Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy, cet. Dar Al-Fikr, 1415 H]
Semoga ucapan Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy -rahimahullah- di atas dapat menjadi renungan bagi semua kalangan, sehingga tidak lagi merasa aneh, asing, ragu, atau mengingkari adanya poligami dalam Islam.
Harapan kami agar para wanita dan walinya dapat berlapang dada dengan syariat dan ketetapan Allah yang satu ini, bukan bersempit hati!! Yakinlah bahwa di balik itu banyak kebaikan, insya Allah.
Allah -Tabaroka wa Ta’ala- berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا  [الأحزاب : 36]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzab : 36)
Di dalam banyak hadits shohih, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah menetapkan bahwa poligami adalah kebaikan yang turunkan bagi umat Islam. Lantaran itu, tak selayaknya menganggap poligami itu adalah keburukan. Sebab tak mungkin Allah akan menurunkan syariat yang berisi keburukan dan kesusahan.
Jika terjadi perselisihan diantara manusia tentang kedudukan poligami antara yang mendukung dan menolak, maka posisikanlah dirimu dalam posisi kaum beriman yang senantiasa senang dan pasrah kepada syariat Allah dengan sepenuh hati. Jangan sampai kita selaku mukmin justru berada dalam posisi kaum kafir dan munafikyang selalu sempit hati dengan wahyu dan syariat Allah, sampai menolaknya dan mengingkarinya layaknya sikap kaum kafir!!!
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا  [النساء : 65]
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisaa’ : 65)
Sebagian orang menolak poligami[10] dengan melihat fakta poligami yang dilakukan oleh orang-orang jahil atau orang yang nekat, tanpa memperhatikan kemampuan lahir dan batinnya. Hal yang seperti ini memang adalah pelanggaran!! Namun jangan karena adanya pelanggaran ini, akhirnya kita menentang poligami dan mengingkarinya!!!
Jika kita berbicara fakta, maka orang yang tak berpoligami pun banyak  kita temui di lapangan menganiaya, menzhalimi, menyakiti, bahkan membunuh istrinya!! Nah, apakah dengan fakta seperti ini membuat kita boleh ingkar dan menolak pernikahan dengan satu istri?!! Jelas tidak boleh!!!
Orang yang mengingkari poligami dengan alasan fakta tersebut, ibarat orang yang mengharamkan beli pisau dengan alasan bahwa banyak fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa pisau dipakai membunuh, merampok dan menzhalimi orang!!
Sisi lain, orang yang berpandangan seperti ini hakikatnya tidak adil, karena hanya memandang sebelah mata!! Mereka tak pernah menyebutkan fakta-fakta indah dari kehidupan orang-orang mampu dari kalangan agamawan dan orang-orang sholih, dimana mereka menghiasi kehidupan poligaminya dengan canda, tawa, bahagia dan dengan akhlak mulia!!!
Para pembaca yang budiman, inilah setitik dari selaut komentar tentang poligami. Andaikan kami tak dibatasi oleh waktu dan pekerjaan yang cukup banyak menyita waktu, niscaya kami akan membuat sebuah risalah khusus yang panjang seputar poligami, insya Allah. Semoga tulisan ini menjadi nasihat indah dan bermakna bagi kita semua[11].


[1] Berkurangnya jumlah kaum pria, akibat banyak kecelakaan kerja pada mereka yang bekerja di luar rumah dengan pekerjaan yang berat dan berbahaya. Selain itu, perang, kekacauan dan musibah sering kali menimpa mereka.
[2] Jika hal ini dibiarkan, maka akan menjamur dimana-mana gadis-gadis tua yang tak tahu mau kemana dan berbuat apa di masa tua. Jika orang tua masih ada, ya masih ringan. Tapi di masa mereka sudah berpulang ke alam sana, maka wanita-wanita tua ini pasti kebingungan.
[3] Sudah menjadi ketentuan bahwa kapan saja masyarakat itu jumlahnya banyak, maka pasti perekonomian masyarakat baik. Sebab, manusia memiliki kodrat untuk mempertahankan hidup melalui berbagai macam aktifitas hidup berupa perdagangan, keterampilan, nelayan, pengaturan kerja dan lainnya. Jika dibandingkan antara masyarakat yang berjumlah banyak dengan yang berjumlah sedikit, maka yang banyak jumlahnya akan lebih maju dan cepat berkembang dibanding yang sedikit.
[4] seperti, memberinya nafkah, mendidiknya, membiayai segala hajatnya, mengarahkan kehidupannya. Semua ini tentunya butuh pengorbanan dari orang tua. Namun di balik pengorbanan itu, ada segunung pahala menantinya.
Selain itu, dengan banyaknya anak, maka seseorang akan banyak mendoakan dan memperhatikannya, baik ia masih hidup, ataupun setelah ia mati.
[5] Bahkan dengan menolak poligami, banyak perasaan yang terlukai dan terzhalimi. Sebab, banyak diantara wanita yang siap poligami tapi dihalangi dengan berbagai macam usaha. Akhirnya, mereka tersia-siakan dan laki-laki pun tersia-siakan!!
[6] Karena, poligami hakikatnya bantu-membantu dan tolong menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan.
[7] Kemudian beliau menyebutkan ayat di atas dari Surah An-Nisaa’ : 3
[8] Sebab, mereka sisa menunggu lelaki yang melamarnya. Beda dengan kaum lelaki, mereka harus mempersiapkan segala macam persiapan mulai dari mahar, rumah, pekerjaan, perabot rumah tangga dan lainnya. Tentunya ini adalah penghalang-penghalang yang tak mudah disingkirkan begitu saja. Apalagi di zaman kita ini tuntutan hidup semakin kompleks, rumit dan banyak. Wanita dan walinya juga di zaman ini susah diajak mengerti dan toleransi dalam hal-hal itu.
[9] Maksudnya, orang yang punya seorang istri saja, kadang biasa bertengkar dan ribut. Tapi apakah dengan alasan seperti itu akhirnya seseorang tak mau menikahi seorang wanita sebagai istrinya?! Subhanallah, tentunya itu bukan alasan untuk tak menikah. Demikianlah halnya jika seorang menikah lagi dengan istri berikutnya, maka pasti akan terjadi kecemburuan dan persaingan. Namun semua itu adalah hal lumrah. Rumah tangga Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- saja biasa terjadi sesuatu dari hal itu.
[10] seperti yang anda bisa lihat pada http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5112415d3f0d7/poligami-bisa-menjadi-bungkus-kejahatan-perkawinan
[11] Tulisan ini selesai pada hari Selasa, 12 Dzul Qo’dah 1434 H yang bertepatan dengan 17 September 2013 M, di rumah kami, Gowa, Sulsel.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites